Menerapkan Ideologi Kartini di SMA N 1 KAJEN

Pada peringatan Hari Kartini ini, belum mencapai yang diharapkan contohnya , baju kebaya hanya untuk ajang perhatian lawan jenis, di dalam hatinya tidak ada semangan Kartini sama sekali lagi pula masih banyak kartini masa depan yang datang terlambat hanya karenah alasan persiapan yang terlalu lama.

Sebenarnya kebaya hanyalah simbol perempuan jawa zaman Kartini kita tidak diharuskan mengenakan karena semangat juang kartini lebih penting.

Untuk memeriahkan hari Kartini umumnya sekolah-sekolah mengadakan lomba, Tak terkecuali SMA N 1 Kajen. Banyak lomba yang diselenggarakan yang diikuti oleh kelas X dan XI ketiadaan kelas XII sama sekali tak mengurangi kehidmatan dan kemeriahan hari kartini ini. Di harapkan dengan adanya beragam kegiatan akan membentuk karakter perempuan seperti sosok kartini dan juga bisa menumbuhkan semangat yang tak mudah pudar.

Tanggal 21 April janganlah dijadikan sebagai ceremony biasa ,melainkan sebagai tolak ukur terhadap karakter perempuan seperti sosok kartini dan jadikanlah hari Kartini ini sebagai penumbuhan karakter yang menciptakan Kartini masa depan.

3 Kekuatan Besar Tersembunyi dari Perjuangan Kartini

Bangsa Indonesia setiap tahunnya memperingati Hari Kartini yang ditetapkan pada 21 April, bahkan berbagai kegiatan pun akan dilaksanakan untuk mengenang hasil buah pemikiran dan perjuangannya.

Pada tanggal tersebut, merupakan hari yang bersejarah dan selalu diagungkan oleh bangsa Indonesia, khususnya bagi kaum perempuan atas keberhasilannya dalam memperjuangkan emansipasi.

Semangat emansipasi yang pertama diperjuangkan oleh R.A Kartini adalah hak atas pendidikan bagi perempuan, karena kaum perempuan juga mempunyai hak atas pendidikan yang sama dengan laki-laki.

Dengan giat Kartini berusaha mengajarkan kepada kaum perempuan membaca dan menulis agar perempuan dapat turut berperan memajukan bangsanya melalui ilmu dan pemikiran yang mereka miliki.

Karena, menurutnya, pendidikan bagi kaum perempuan sangatlah penting. Ia yakin, perempuan yang terdidik kelak juga akan mendidik anak-anak (perempuan)-nya dengan lebih maju, sehingga bangsa ini akan lebih maju dan sejahtera kedepanya.Apa yang dicita-citakan oleh seorang Kartini sangatlah mulia untuk bangsa ini, khusus bagi kaum perempuan.

Hingga kini, keberhasilan atas buah pemikiran Kartini telah membuka kesadaran bagi terciptanya sebuah perubahan dalam konsep pemikiran yang kita kenal yang tertuang dalam bukunya yang berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang.

Atas keberhasilan Kartini dalam memperjuangkan emansipasi tersebut tidaklah terlepas dari 3 (tiga) kekuatan besar yang ada dan yang tersembunyi dalam dirinya. Ke-3 kekuatan tersebut berupa :

Pertama : Semangat yang kuat. Semangat merupakan sebuah dorongan yang kuat dimiliki oleh Kartini dalam memperjuangkan impian dan cita-citanya, karena dengan semangat kuatlah apa yang di perjuangkan akan dapat dicapai, sehingga semangat tersebut harus tetap dijaga agar jangan pernah luntur dalam kondisi apapun.

Kedua : Hati yang tulus dan kuat. Hati yang tulus dan kuat merupakan sebuah keyakinan yang dimiliki oleh Kartini dalam memperjuangkan impian dan cita-citanya, karena tanpa sebuah keyakinan yang kuat mustahil impian dan cita-cita akan tercapai, oleh karena itu peliharalah keyakinan itu dengan baik.

Ketiga : Kegigihan. Kegigihan merupakan usaha pantang menyerah yang dimiliki oleh Kartini dalam memperjuangkan impian dan cita-citanya, karena tanpa usaha yang dilakukan, maka keberhasilan dari sebuah perjuangan akan sirna. Sehingga kegigihan harus tetap dipertahankan dalam perjuangan.

 

 

Ke-3 kekuatan besar inilah yang dimiliki dan selalu dipegang teguh oleh seorang Kartini, sehingga impian dan cita-citanya dapat diraih dengan sebuah keberhasilan.

Jika, ke-3 kekuatan besar ini juga dimiliki dan selalu dipegang teguh oleh semua rakyat bangsa Indonesia, baik dalam mendidik anak dikeluarga, disekolah maupun ditempat-tempat lainya, maka saya yakin kekuatan besar tersebut juga akan mengantarkan anak-anak bangsa ini menjadi generasi yang berkualitas, sehingga menghasilkan pemimpin-pemimpin yang dapat memajukan bangsa ini.

Semoga perjuangan yang telah dilakukan oleh Kartini, dapat menginspirasi bagi kita semua dan tidak hanya sebagai seremonial yang diperingati setiap tahunnya, namun ada sebuah makna yang harus diambil dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Tongkat Estafet Perjuangan Kartini

Peringatan hari Kartini yang jatuhnya hari ini, 21 April 2012,pada esensinya sebagai bentuk penghargaan terhadap perjuangan kaum perempuan Indonesia yang disimbolisasikan dengan kepeloporan Raden Ajeng Kartini.

Kartini menjadi simbol perjuangan kaum perempuan Indonesia yang diperlakukan sewenang-wenang dan tidak adil oleh kaum laki-laki.Kaum perempuan dipandang sebagai makhluk kelas dua yang tidak mendapatkan haknya sebagai manusia merdeka. Sejatinya perjuangan kaum perempuan bukanlah hanya perjuangan Kartini seorang.Sejak zaman sebelum kemerdekaan, banyak tokoh perempuan Indonesia lainnya yang perjuangannya segaris dengan apa yang dilakukan Kartini. Di masing-masing daerah di wilayah Indonesia,muncul perempuan- perempuan pejuang yang tak kalah pentingnya, seperti Cut Nyak Dien dan Cut Meutia dari Aceh, Rasuna Said dan St Manggopoh Minangkabau dari Sumatera Barat, Nyi Ageng Serang dan banyak lainnya.

Perjuangan Kartini dan perempuan- perempuan pejuang lainnya menjadi batu pijakan dan berhasil mengangkat sedikit demi sedikit derajat kaum perempuan Indonesia. Saat ini perempuan Indonesia tidak kalah dibandingkan kaum pria.Perempuan Indonesia telah berperan dalam berbagai sektor.Sudah tidak aneh lagi ketika melihat perempuan menjadi profesor/guru besar, dokter, ekonom, dan tidak sedikit kaum perempuan duduk dalam jabatan-jabatan penting baik di politik maupun dunia bisnis seperti ada yang menjadi gubernur, bupati, direktur utama.

Bahkan, Ibu Megawati Soekarno Putri menjadi presiden perempuan pertama di Indonesia. Di politik pun, kesempatan untuk perempuan terbuka kian lebar. Melanjutkan UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum yang mengakomodasi kuota 30% keterwakilan perempuan di parlemen, UU untuk Pemilu 2014 juga menggariskan hal yang sama.Walaupun keterwakilan suara perempuan 30% di parlemen belum sebanding bila dibanding dengan jumlah perempuan, setidaknya ini menjadi affirmative action yang cukup baik bagi perempuan.

Tinggal bagaimana perempuan mengoptimalkannya. Sayangnya, data menunjukkan bahwa selama ini kesempatan politik itu belum teroptimalkan. Berdasarkan catatan Kaukus Perempuan Parlemen (KPP, 2012) pada Pemilu 2004 jumlah perempuan di parlemen sebanyak 11% dan meningkat menjadi 18% pada 2009. Sementara di DPRD provinsi, pada 2004 jumlah perempuan di parlemen hanya 10% dan pada 2009 naik menjadi 15%.

Di level DPRD kabupaten/kota, juga mengalami peningkatan dari yang rata-rata hanya 10% pada 2004 menjadi 15% pada 2009. Sementara wakil perempuan yang duduk di DPD, naik dari 18% pada 2004 menjadi 27% pada 2009.Harus ada langkah lebih tegas dan membangkitkan kesadaran mendorong naiknya keterwakilan minimal untuk menyuarakan kesejahteraan kaum perempuan.

Perbaikan

Melalui peringatan hari Kartini yang biasanya diperingati secara meriah,akan lebih baik jika kita mencoba merenung ulang dengan mengajukan pertanyaan kritis: “Sudahkan cita-cita Kartini menjadi kenyataan?” Tentu di berapa sektor dapat dijawab sudah, namun masih banyak Kartini- Kartini yang kurang beruntung di negeri ini.

Di antaranya mereka ada yang memilih menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri, bahkan di antara mereka menjadi korban keganasan majikannya dan diperlakukan tak senonoh, diperkosa, dibunuh, disiksa, dipenjarakan, bahkan hingga dipancung. Kondisi kemiskinan menjadi masalah besar bagi kaum perempuan yang membuatnya jauh lebih sengsara.

Salah satu hal yang perlu diperhatikan dari nasib perempuan adalah angka kematian ibu melahirkan. Suatu hal yang mengagetkan bahwa angka kematian ibu melahirkan di Indonesia pada 2011 diperkirakan mencapai 11.534 jiwa . Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sugiri Syarif menjelaskan bahwa situasi ini mengkhawatirkan karena Indonesia tidak akan dapat mencapai target dalam Millennium Development Goals (MDGs) pada 2015 dalampenuntasankematianibu.

Perempuan sebagai ibu adalah modal pembangunan bangsa.Perempuan yang mempunyai pengetahuan yang luas akan menjadi modal kemajuan keluarganya yang dalam skala luas menjadi motor kemajuan bangsa.Sangat menarik mengikuti pemikiran seorang ahli gizi, Tirta Prawita Sari, yang dituangkan di harian ini dengan judul Mengasuh Ibu: Menyelamatkan Masa Depan dalam rangka menyambut hari Gizi Nasional yang jatuh pada 25 Januari.

Menurut Tirta salah satu masalah penting yang perlu diperhatikan adalah masalah gizi ibu, terutama ibu hamil dan ibu menyusui. Menurutnya, ibu merupakan bagian penting yang akan memengaruhi perkembangan anak. Ibu yang memiliki kesadaran gizi yang tinggi akan memperhatikan gizi anaknya dan menularkan kesadaran itu pada anaknya. Gizi yang baik akan menjadi modal perkembangan anak, calon penerus bangsa ini. Permasalahan kesejahteraan dan pengetahuan itulah yang harusdiperhatikansecaraserius.

Jika Kartini dan perempuanperempuan hebat lainnya dari masa prakemerdekaan sudah meletakkan batu pijakan untuk kemajuan perempuan,sekarang tugas kita semua untuk meneruskan tongkat estafet yang telah mereka berikan. Kita perlu merenung ulang bagaimana langkah-langkah nyata yang seharusnya dilakukan ke depan terutama mengangkat harkat dan martabat Kartini-Kartini yang masih termarjinalkan oleh ketidakberuntungan mereka baik dalam masalah ekonomi dan pendidikan.”

“Banyak sudah pergerakan yang kandas di tengah jalan karena mengabaikan potensi dan eksistensi kaum perempuan,” kata Mahatma Gandhi. Jangan sampai bangsa ini yang sedang bersiap-siap melompat menjadi bangsa yang disegani harus terjerembab karena tidak memperhatikan kesejahteraan perempuan.●

Buku Hasil Pemikiran R.A Kartini

  • Habis Gelap Terbitlah Terang

Sampul buku versi Armijn Pane.

Pada 1922, oleh Empat SaudaraDoor Duisternis Tot Licht disajikan dalam bahasa Melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang; Boeah Pikiran. Buku ini diterbitkan oleh Balai PustakaArmijn Pane, salah seorang sastrawan pelopor Pujangga Baru, tercatat sebagai salah seorang penerjemah surat-surat Kartini ke dalam Habis Gelap Terbitlah Terang. Ia pun juga disebut-sebut sebagai Empat Saudara.
Pada 1938, buku Habis Gelap Terbitlah Terang diterbitkan kembali dalam format yang berbeda dengan buku-buku terjemahan dari Door Duisternis Tot Licht. Buku terjemahan Armijn Pane ini dicetak sebanyak sebelas kali. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Armijn Pane menyajikan surat-surat Kartini dalam format berbeda dengan buku-buku sebelumnya. Ia membagi kumpulan surat-surat tersebut ke dalam lima bab pembahasan. Pembagian tersebut ia lakukan untuk menunjukkan adanya tahapan atau perubahan sikap dan pemikiran Kartini selama berkorespondensi. Pada buku versi baru tersebut, Armijn Pane juga menciutkan jumlah surat Kartini. Hanya terdapat 87 surat Kartini dalam “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Penyebab tidak dimuatnya keseluruhan surat yang ada dalam buku acuan Door Duisternis Tot Licht, adalah terdapat kemiripan pada beberapa surat. Alasan lain adalah untuk menjaga jalan cerita agar menjadi seperti roman. Menurut Armijn Pane, surat-surat Kartini dapat dibaca sebagai sebuah roman kehidupan perempuan. Ini pula yang menjadi salah satu penjelasan mengapa surat-surat tersebut ia bagi ke dalam lima bab pembahasan.
  • Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya
Surat-surat Kartini juga diterjemahkan oleh Sulastin Sutrisno. Pada mulanya Sulastin menerjemahkan Door Duisternis Tot Licht di Universitas Leiden, Belanda, saat ia melanjutkan studi di bidang sastra tahun 1972. Salah seorang dosen pembimbing di Leiden meminta Sulastin untuk menerjemahkan buku kumpulan surat Kartini tersebut. Tujuan sang dosen adalah agar Sulastin bisa menguasai bahasa Belanda dengan cukup sempurna. Kemudian, pada 1979, sebuah buku berisi terjemahan Sulastin Sutrisno versi lengkap Door Duisternis Tot Licht pun terbit.
Buku kumpulan surat versi Sulastin Sutrisno terbit dengan judul Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya. Menurut Sulastin, judul terjemahan seharusnya menurut bahasa Belanda adalah: “Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsa Jawa”. Sulastin menilai, meski tertulis Jawa, yang didamba sesungguhnya oleh Kartini adalah kemajuan seluruh bangsa Indonesia.
Buku terjemahan Sulastin malah ingin menyajikan lengkap surat-surat Kartini yang ada pada Door Duisternis Tot Licht. Selain diterbitkan dalam Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya, terjemahan Sulastin Sutrisno juga dipakai dalam buku Kartini, Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan Suaminya.
  • Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904
Buku lain yang berisi terjemahan surat-surat Kartini adalah Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904. Penerjemahnya adalah Joost Coté. Ia tidak hanya menerjemahkan surat-surat yang ada dalam Door Duisternis Tot Licht versi Abendanon. Joost Coté juga menerjemahkan seluruh surat asli Kartini pada Nyonya Abendanon-Mandri hasil temuan terakhir. Pada buku terjemahan Joost Coté, bisa ditemukan surat-surat yang tergolong sensitif dan tidak ada dalam Door Duisternis Tot Licht versi Abendanon. Menurut Joost Coté, seluruh pergulatan Kartini dan penghalangan pada dirinya sudah saatnya untuk diungkap.
Buku Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904 memuat 108 surat-surat Kartini kepada Nyonya Rosa Manuela Abendanon-Mandri dan suaminya JH Abendanon. Termasuk di dalamnya: 46 surat yang dibuat Rukmini, Kardinah, Kartinah, dan Soematrie.
  • Panggil Aku Kartini Saja

Sampul Panggil Aku Kartini Saja, dikompilasi oleh Pramoedya Ananta Toer.

Selain berupa kumpulan surat, bacaan yang lebih memusatkan pada pemikiran Kartini juga diterbitkan. Salah satunya adalah Panggil Aku Kartini Saja karyaPramoedya Ananta Toer. Buku Panggil Aku Kartini Saja terlihat merupakan hasil dari pengumpulan data dari berbagai sumber oleh Pramoedya.
  • Kartini Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya
Akhir tahun 1987, Sulastin Sutrisno memberi gambaran baru tentang Kartini lewat buku Kartini Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya. Gambaran sebelumnya lebih banyak dibentuk dari kumpulan surat yang ditulis untuk Abendanon, diterbitkan dalam Door Duisternis Tot Licht.
Kartini dihadirkan sebagai pejuang emansipasi yang sangat maju dalam cara berpikir dibanding perempuan-perempuan Jawa pada masanya. Dalam surat tanggal27 Oktober 1902, dikutip bahwa Kartini menulis pada Nyonya Abendanon bahwa dia telah memulai pantangan makan daging, bahkan sejak beberapa tahun sebelum surat tersebut, yang menunjukkan bahwa Kartini adalah seorang vegetarian.[3] Dalam kumpulan itu, surat-surat Kartini selalu dipotong bagian awal dan akhir. Padahal, bagian itu menunjukkan kemesraan Kartini kepada Abendanon. Banyak hal lain yang dimunculkan kembali oleh Sulastin Sutrisno.
  • Aku Mau … Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903
Sebuah buku kumpulan surat kepada Stella Zeehandelaar periode 1899-1903 diterbitkan untuk memperingati 100 tahun wafatnya. Isinya memperlihatkan wajah lain Kartini. Koleksi surat Kartini itu dikumpulkan Dr Joost Coté, diterjemahkan dengan judul Aku Mau … Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903.
“Aku Mau …” adalah moto Kartini. Sepenggal ungkapan itu mewakili sosok yang selama ini tak pernah dilihat dan dijadikan bahan perbincangan. Kartini berbicara tentang banyak hal: sosial, budaya, agama, bahkan korupsi.

 

Pemikiran Sempuna R.A. Kartini

Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderrichtZelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).

Surat-surat Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada perkenalan dengan Estelle “Stella” Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.

Pandangan-pandangan kritis lain yang diungkapkan Kartini dalam surat-suratnya adalah kritik terhadap agamanya. Ia mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami. Ia mengungkapkan tentang pandangan bahwa dunia akan lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia untuk berselisih, terpisah, dan saling menyakiti. “…Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu…” Kartini mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah.

Surat-surat Kartini banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi ketika bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju. Meski memiliki seorang ayah yang tergolong maju karena telah menyekolahkan anak-anak perempuannya meski hanya sampai umur 12 tahun, tetap saja pintu untuk ke sana tertutup. Kartini sangat mencintai sang ayah, namun ternyata cinta kasih terhadap sang ayah tersebut juga pada akhirnya menjadi kendala besar dalam mewujudkan cita-cita. Sang ayah dalam surat juga diungkapkan begitu mengasihi Kartini. Ia disebutkan akhirnya mengizinkan Kartini untuk belajar menjadi guru di Betawi, meski sebelumnya tak mengizinkan Kartini untuk melanjutkan studi ke Belanda ataupun untuk masuk sekolah kedokteran di Betawi.

Keinginan Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa, memang terungkap dalam surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan Kartini tersebut. Ketika akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang hampir terwujud tersebut, terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya. Niat dan rencana untuk belajar ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah dinasihati oleh Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini.

Pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niat untuk melanjutkan studi menjadi guru di Betawi pun pupus. Dalam sebuah surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini mengungkap tidak berniat lagi karena ia sudah akan menikah. “…Singkat dan pendek saja, bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan kawin…” Padahal saat itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu kesempatan bagi Kartini dan Rukmini untuk belajar di Betawi.

Saat menjelang pernikahannya, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu. Dalam surat-suratnya, Kartini menyebutkan bahwa sang suami tidak hanya mendukung keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi perempuan bumiputra saja, tetapi juga disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah buku.

Perubahan pemikiran Kartini ini menyiratkan bahwa dia sudah lebih menanggalkan egonya dan menjadi manusia yang mengutamakan transendensi, bahwa ketika Kartini hampir mendapatkan impiannya untuk bersekolah di Betawi, dia lebih memilih berkorban untuk mengikuti prinsip patriarki yang selama ini ditentangnya, yakni menikah dengan Adipati Rembang.

 

Surat Misteri R.A. Kartini

Setelah Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”. Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini.

Pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa Melayu dengan judul yang diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran, yang merupakan terjemahan oleh Empat Saudara. Kemudian tahun 1938, keluarlah Habis Gelap Terbitlah Terang versi Armijn Pane seorang sastrawan Pujangga Baru. Armijn membagi buku menjadi lima bab pembahasan untuk menunjukkan perubahan cara berpikir Kartini sepanjang waktu korespondensinya. Versi ini sempat dicetak sebanyak sebelas kali. Surat-surat Kartini dalam bahasa Inggris juga pernah diterjemahkan oleh Agnes L. Symmers. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Jawa dan Sunda.

Terbitnya surat-surat Kartini, seorang perempuan pribumi, sangat menarik perhatian masyarakat Belanda, dan pemikiran-pemikiran Kartini mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa. Pemikiran-pemikiran Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya juga menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh kebangkitan nasional Indonesia, antara lain W.R. Soepratman yang menciptakan lagu berjudul Ibu Kita Kartini.

Mengenal Lebih Dalam R.A. Kartini

Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara. Ia adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Dari sisi ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hinggaHamengkubuwana VI.

Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupatiberisterikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi[2], maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.

Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.

Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.

Kartini bersama suaminya, R.M.A.A.Singgih Djojo Adhiningrat (1903).

Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht(Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda.

Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.

Sekolah Kartini (Kartinischool), 1918.

Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, R.M. Soesalit, lahir pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan BuluRembang.

Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada1912, dan kemudian di SurabayaYogyakartaMalangMadiunCirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini“. Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokohPolitik Etis.